Menjadi seseorang berhati busuk itu melelahkan. Segala yang menggerogoti perasaan membuat jantung sakit dan nafas sesak. Kebencian, kemarahan, iri-dengki, dendam, kecurigaan, nyaris tidak terpilah. Semuanya menggerogoti setiap waktu. Tak dapat dikendalikan.
Saya adalah seseorang berhati busuk. Saya tidak ingat kapan kebusukan hati mulai menguasai kehidupan saya. Yang saya ingat, saya abai. Saya membiarkan kebusukan kecil tumbuh perlahan-lahan. Menjalar. Meluas. Merajalela. Hingga pada akhirnya berkuasa atas seluruh kehidupan saya. Kebusukan membuat yang nyata dan yang tidak saling menerkam. Persepsi saya tidak sehat. Kepala saya tahu, tapi hati saya yang busuk tak mau tahu.
Tanpa sebab yang pasti
Sesuatu yang harusnya terjadi
Kau sakiti aku
“Hei, potongan rambut kamu bagus, deh. Gunting di mana?” tegur teman kampus saya.
Pasti dia basa-basi. Mana mungkin orang secantik dia peduli dengan potongan rambut saya? Paling-paling dia hanya ingin menghina. Ingin menunjukkan betapa bagusnya rambut dia dibandingkan rambut saya.
“Potong di mana?” ia mengulang pertanyaanya.
Saya diam.
“Ditanya baik-baik tanggepannya begitu,” teman kampus saya cemberut. Tanpa bicara apa-apa lagi, dia meninggalkan saya.
Kan, dia cuma ingin menghina. Dia tidak betul-betul peduli dengan rambut saya.
Jantung saya sakit. Hati saya bernanah-nanah tidak perlu. Kewaspadaan saya lelah. Sesuatu dalam kepala saya samar-samar memperingatkan, “Mungkin dia memang suka potongan rambut kamu.”
Pikiranku
Patutnya menyadari
Tetapi kebusukan hati saya segera menggeragasnya. Tidak terkendali.
Siang itu, setelah kuliah usai, saya berjalan tak tentu arah. Karena melangkahkan kaki mengalihkan rasa sakit, saya berjalan sangat jauh. Jauh sekali. Ketika lewat di depan sebuah pohon yang berhadapan dengan parit di pinggir jalan, saya memutuskan untuk beristirahat. Hati saya yang busuk masih terasa sakit, namun kali itu kelelahan berhasil mengalahkan pengaruhnya. Saya duduk di bawah pohon, menghadap parit. Sebentar saja saya terlelap.
Tertidur tanpa bermimpi.
***
Saya terbangun. Saya hendak melangkah lagi, namun kaki saya terasa memijak udara. Perlahan-lahan saya membuka mata. Dan …
Tak dapat kumengerti
Kaki di kepala
Kepala di kaki …
Plutuk! Sesuatu di dalam tubuh saya tergelincir ke tenggorokan. Mencekat dan pahit. Saya berusaha memuntahkannya.
“Kroaakkkk …. Kroakkkk … ciuuuuh ….”
… lalu sebentuk hati berbelatung melompat dan menggelinding-gelinding keluar dari tenggorokan saya. Saya belum sempat betul-betul melihat bentuknya ketika hati itu tercebur ke dalam parit dan dibawa pergi arus entah ke mana.
Saya mencoba mencari tahu rasanya menjadi manusia terbalik. Tetapi perasaan saya hilang. Ini lega atau hampa? Ringan atau gamang? Pikiran saya menyampaikan berbagai informasi yang tak dapat disambut oleh perasaan. Saya merasa timpang.
Saya berjalan dengan kaki di atas dan kepala di bawah. Kepala saya menggelinding-gelinding seperti roda dan kaki saya terlalu pendek untuk memijak langit. Semua serba terbalik. Saya menempuh jalan yang sama persis dengan ketika berangkat, namun dari arah yang sebaliknya.
Hati saya yang busuk tidak ada lagi. Namun kali itu saya justru bertanya-tanya. Mana yang lebih baik? Merasa dengan hati busuk atau tidak merasa apa-apa sama sekali? Saya ingin tahu ke mana hati busuk saya saat itu pergi.
Kepala saya menggelinding menggilas debu jalan dan bibir saya menggumamkan lagu “Di Atas Normal” –Peterpan untuk hati busuk saya:
Ku mencari sesuatu yang telah pergi
Ku mencari hati yang kubenci
Ku mencari sesuatu yang tak kembali
Ku mencari hati yang kubenci
Pikiranku
Patutnya menyadari
Siapa yang harus
Dan tak harus kucari
Tetapi tak dapat ku mengerti
Tetapi tak dapat ku mengerti
Sundea
Ditulis untuk project #CerpenPeterpan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar