Rabu, 10 Juli 2013

Adat






Louise Purnama br. Siahaan
20 Agustus 1939 – 29 Juni 2013

Ompung Dea berzodiak Leo. Dia punya ciri-ciri singa betina di karakternya. Dia tangguh, dominan untuk beberapa hal, nggak kenal takut, dan kadang-kadang kontroversial. Waktu masuk ICU karena jatoh, dia nggak mau orang-orang yang ngejenguk kasian ngeliat dia. Supaya suasananya nggak jadi gloomy, dia minta temen-temennya nyanyi-nyanyi aja buat dia. Alhasil, orang-orang yang ngejenguk dia disuruh keluar sama petugas ICU karena dianggep terlalu rame. Dea nggak tau harus sedih atau ketawa kalo inget peristiwa itu. 

Di sisi lain, seperti singa betina, Ompung protektif dan perhatian. Dia ibu yang providing buat semua anak dan cucunya. Waktu Uda (paman) Dea bikin drama musikal, dia ikut heboh jual tiket. Dia pernah khusus dateng ke Galeri Nasional cuma untuk ngeliat acaranya papa, padahal dia nggak ngerti Seni Rupa. Waktu Dea masuk rumah sakit, dia juga niat jauh-jauh dateng ke Pulo Mas untuk ngejenguk. Dia marah-marah karena nggak dikasih tau Dea masuk rumah sakit. Padahal kita semua nggak ngasih tau justru karena nggak mau bikin dia repot.

Setelah stroke selama 3 taun, akhir bulan Juni yang lalu Ompung meninggal. Di adat Batak, Ompung disebut meninggal sebagai sari matua. Artinya, dia udah punya anak laki-laki dan anak perempuan. Dia juga udah punya cucu laki-laki dan cucu perempuan dari anak laki-laki dan anak perempuannya. Nggak semua orang bisa sampe ke tahap sari matua. Jadi, ketika seseorang meninggal dalam keadaan itu, biasanya ada upacara adat yang cukup meriah untuk ngehormatin dia.

Tapi pesen Ompung sebelum meninggal lagi-lagi kontroversial. Dia mau pemakamannya biasa-biasa aja. Ini nggak biasa untuk orang Batak dari generasinya, terutama yang mencapai sari matua dan punya almarhum suami raja adat. Buat Ompung Boru, yang penting di pemakamannya anak-cucunya kumpul semua, kompak, dan hangat. 



Cita-citanya tercapai, terutama karena anak-anaknya harus bersatu padu berjuang ngehadepin dan ngejalasin ke raja-raja adat Silaen (Kakek Dea marganya Silaen) yang nggak setuju pemakaman Ompung dilakuin tanpa pesta adat sama sekali. Martonggo raja alias rapat besar raja-raja adatnya pun nggak digelar. Acara yang kebatakbatakan tetep ada karena kami emang orang Batak, tapi secara umum pemakaman Ompung nggak bisa dibilang diadatin.

“Kalau kita udah nggak ngerti adat, kira-kira siapa yang bakal nerusin adat, ya?” tanya Ivan, sepupu Dea.
“Lo masih bisa Bahasa Batak?” Dea balik nanya.
Ivan ngegeleng. “Gua masih lebih fasih bilang Iie daripada bilang Inang Uda. Abis mau gimana? 95% orang yang gua temuin kan orang Chineese. Cuma 5% yang non-Chineese. Itu pun campuran dari Jawa, Betawi, termasuk Batak,” kata Ivan yang seumur idupnya tinggal di Pluit dan kuliah di Bina Nusantara.
“Menurut lo masih perlu nggak kita nerusin adat-adat gini, Van?”
Ivan sempet diem sebentar. Tapi akhirnya dia ngejawab meskipun kedengeran agak ragu, “Perlu …sih…”

Dea jadi bertanya-tanya sendiri. Meskipun setiap simbol di upacara adat punya makna, seberapa relevan dia sama generasi Dea yang udah nggak bisa ngehindarin percampuran budaya? Apa esensi dari “melestarikan budaya”? Atau kadang-kadang kita tersaru antara “lestari” dan enggan mengenali yang sudah berubah bentuk? Dea nyoba ngeraba seberapa kuat ikatan Dea sama adat Batak. Mungkin masih ada. Tapi perlu waktu untuk memahami seperti apa bentuk ikatannya. Ompung mungkin udah ngebaca tanda-tanda ini. Dia juga pasti tau persis seperti apa complicated-nya adat, terutama buat anak-anak yang udah nggak tertanam dan tumbuh di sana.

Beberapa waktu lalu, pas tau Dea ini boru Batak, ada orang yang nanya, “Sudah pernah kau pulang ke kampungmu di Sumatera?”

Pertanyaan itu bikin Dea justru jadi kepengen bertanya lagi: Apa itu “pulang” dan di mana sebetulnya “rumah” …?




11 komentar:

  1. Bagus Dea. Sejenak terharu.
    Pulang itu.... adalah sebuah tempat di mana kamu paling suka berada dan selalu merindukannya.

    BalasHapus
  2. Kok jadi berasa becermin yah de gue..

    BalasHapus
  3. @Uda Coki: Makasih, Uda Coki ... komentarnya bikin ademmm =)

    @Em: Iya, Em, in some ways Ompung gue emang mirip elu... hehe ...

    BalasHapus
  4. Hahaha kak Dea ternyata orang Batak toh. Nggak keliatan dari mukanya, nggak amuba (asli muka Batak) :p ^^v Kalau aku sampai saat ini masih menjungjung tinggi adat Batak kak. Rasanya senang aja gitu kalau bisa sampai tahu seluk-beluk adat Batak kayak apa. Puji Tuhan, sampai saat ini walaupun dari oek-oek tinggal, sekolah dan bahkan sahabat ku sendiri pun non Batak, semuanya Chinese, aku masih bisa bahasa Batak meski masih marpasir-pasir. Hehehe. Tau tutur dan pesta-pesta adat semacamnya. Sekarang lagi belajar nulis dalam aksara Batak sama bapak :)

    BalasHapus
  5. kebingungan yg sama yg gue rasakan...
    kadang merasa agak getir membayangkan kalau-kalau estafet peradatan ini berhenti di gue dan gak terteruskan ke generasi selanjutnya....

    BalasHapus
  6. @Golda Regina: Wah, hebat =D

    @Remon: Nggak musti brenti juga, Mon, dicari gimana nerusinnya supaya pas...

    BalasHapus
  7. waduh salamatahari ternyata amuba ya.. saya menggunakan diksi yg berbeda antara pulang & rumah yaitu kampung. buat saya kemarin pulang kampung bukan hanya sekedar perjalanan wisata melihat lansekap yg indah-indah dari tanah batak, tapi sebuah perjalanan spritual yg tidak bisa dijelaskan melalui huruf alfabet, terlebih ketika berdiri di depan tugu dan kubur batu opung nenek moyang serta jabu yg sudah berumur ratusan tahun. hiperbola sih, tapi begitu makan dan menari tor-tor di tengah saudara di kampung kita, perasaan magis itu akan muncul dan sangat berbeda ketimbang beracara di kota metropolitan ibukota :D

    BalasHapus
  8. Dear Sundea Belaka, membaca obituari ini, antara konsentrasi pada tulisan dengan memerhatikan gambar karakter2 lucu warna-warni di kiri-kanan laman blogmu. Dan ada seorang kerabatmu yang sibuk garuk-garuk punggung di dekat peti jenazah. Aku rasa ompungmu bijak. Salah satu keberhasilan dia adalah menyatu-padukan anak cucunya, bahkan pada hari kepergiannya. Tentang "pulang", dan "adat", itu hal yang kita geluti selama kita hidup, bukan? Turut berduka cita. Tolong sampaikan pula salamku ke papa-mamamu...

    BalasHapus
  9. *Jadi makin penasaran baca novelnya Dea, dengan baca tulisan ini... :D

    BalasHapus
  10. @Bona Tua: Mungkin suatu waktu Dea musti main juga ke ya ke Sumatera buat tau persis gimana rasanya =)

    Kalo saat ini buat Dea "pulang" itu artinya ke Bandung, ke tengah semua yang ada di sini, nulis, angkot, jalan yang nggak karu-karuan ... sejujurnya Dea justru ngerasa punya ikatan sama itu semua.

    @Mas Heru: Salam kembali dari mama sama papa =) Iya, seumur-umur kayaknya "pulang" dan "adat" itu nggak selesai belajar dieja ya, maknanya harus di-refresh terus...

    @Inang Uda Synka: Ayo, ayo hihi ... =D Makasih, ya ...

    BalasHapus
  11. Kadang malu juga bawa-bawa marga Batak di belakang nama, sambil nggak tau banyak soal kebatakan kita. Bapak yang asli Batak (Mandailing) dari dulu nggak terlalu antusias mengajarkan soal budaya atau bahasa Batak. Belum pernah pula seumur hidupnya mengajak anak-anaknya bertandang ke kampung halamannya. Jadi, ketika beliau meninggal, otomatis legacy-nya "cuma" marga yang selalu saya lekatkan di belakang nama saya.

    BalasHapus