Louise Purnama br. Siahaan
20 Agustus 1939 – 29
Juni 2013
Ompung Dea berzodiak Leo. Dia
punya ciri-ciri singa betina di karakternya. Dia tangguh, dominan untuk
beberapa hal, nggak kenal takut, dan kadang-kadang kontroversial. Waktu masuk
ICU karena jatoh, dia nggak mau orang-orang yang ngejenguk kasian ngeliat dia.
Supaya suasananya nggak jadi gloomy, dia minta temen-temennya nyanyi-nyanyi aja
buat dia. Alhasil, orang-orang yang ngejenguk dia disuruh keluar sama petugas
ICU karena dianggep terlalu rame. Dea nggak tau harus sedih atau ketawa kalo
inget peristiwa itu.
Di sisi lain, seperti singa
betina, Ompung protektif dan perhatian. Dia ibu yang providing buat semua anak
dan cucunya. Waktu Uda (paman) Dea bikin drama musikal, dia ikut heboh jual tiket.
Dia pernah khusus dateng ke Galeri Nasional cuma untuk ngeliat acaranya papa,
padahal dia nggak ngerti Seni Rupa. Waktu Dea masuk rumah sakit, dia juga niat
jauh-jauh dateng ke Pulo Mas untuk ngejenguk. Dia marah-marah karena nggak
dikasih tau Dea masuk rumah sakit. Padahal kita semua nggak ngasih tau justru
karena nggak mau bikin dia repot.
Setelah stroke selama 3 taun,
akhir bulan Juni yang lalu Ompung meninggal. Di adat Batak, Ompung disebut
meninggal sebagai sari matua. Artinya, dia udah punya anak laki-laki dan anak
perempuan. Dia juga udah punya cucu laki-laki dan cucu perempuan dari anak
laki-laki dan anak perempuannya. Nggak semua orang bisa sampe ke tahap sari
matua. Jadi, ketika seseorang meninggal dalam keadaan itu, biasanya ada upacara
adat yang cukup meriah untuk ngehormatin dia.
Tapi pesen Ompung sebelum
meninggal lagi-lagi kontroversial. Dia mau pemakamannya biasa-biasa aja. Ini
nggak biasa untuk orang Batak dari generasinya, terutama yang mencapai sari
matua dan punya almarhum suami raja adat. Buat Ompung Boru, yang penting di pemakamannya
anak-cucunya kumpul semua, kompak, dan hangat.
Cita-citanya tercapai, terutama
karena anak-anaknya harus bersatu padu berjuang ngehadepin dan ngejalasin ke raja-raja
adat Silaen (Kakek Dea marganya Silaen) yang nggak setuju pemakaman Ompung dilakuin
tanpa pesta adat sama sekali. Martonggo raja alias rapat besar raja-raja
adatnya pun nggak digelar. Acara yang kebatakbatakan tetep ada karena kami
emang orang Batak, tapi secara umum pemakaman Ompung nggak bisa dibilang
diadatin.
“Kalau kita udah nggak ngerti
adat, kira-kira siapa yang bakal nerusin adat, ya?” tanya Ivan, sepupu Dea.
“Lo masih bisa Bahasa Batak?” Dea
balik nanya.
Ivan ngegeleng. “Gua masih lebih
fasih bilang Iie daripada bilang Inang Uda. Abis mau gimana? 95% orang yang gua
temuin kan orang Chineese. Cuma 5% yang non-Chineese. Itu pun campuran dari
Jawa, Betawi, termasuk Batak,” kata Ivan yang seumur idupnya tinggal di Pluit
dan kuliah di Bina Nusantara.
“Menurut lo masih perlu nggak
kita nerusin adat-adat gini, Van?”
Ivan sempet diem sebentar. Tapi
akhirnya dia ngejawab meskipun kedengeran agak ragu, “Perlu …sih…”
Dea jadi bertanya-tanya sendiri.
Meskipun setiap simbol di upacara adat punya makna, seberapa relevan dia sama
generasi Dea yang udah nggak bisa ngehindarin percampuran budaya? Apa esensi
dari “melestarikan budaya”? Atau kadang-kadang kita tersaru antara “lestari”
dan enggan mengenali yang sudah berubah bentuk? Dea nyoba ngeraba seberapa kuat
ikatan Dea sama adat Batak. Mungkin masih ada. Tapi perlu waktu untuk memahami
seperti apa bentuk ikatannya. Ompung mungkin udah ngebaca tanda-tanda ini. Dia
juga pasti tau persis seperti apa complicated-nya adat, terutama buat anak-anak
yang udah nggak tertanam dan tumbuh di sana.
Beberapa waktu lalu, pas tau Dea
ini boru Batak, ada orang yang nanya, “Sudah pernah kau pulang ke kampungmu di
Sumatera?”
Pertanyaan itu bikin Dea justru
jadi kepengen bertanya lagi: Apa itu “pulang” dan di mana sebetulnya “rumah” …?
Bagus Dea. Sejenak terharu.
BalasHapusPulang itu.... adalah sebuah tempat di mana kamu paling suka berada dan selalu merindukannya.
Kok jadi berasa becermin yah de gue..
BalasHapus@Uda Coki: Makasih, Uda Coki ... komentarnya bikin ademmm =)
BalasHapus@Em: Iya, Em, in some ways Ompung gue emang mirip elu... hehe ...
Hahaha kak Dea ternyata orang Batak toh. Nggak keliatan dari mukanya, nggak amuba (asli muka Batak) :p ^^v Kalau aku sampai saat ini masih menjungjung tinggi adat Batak kak. Rasanya senang aja gitu kalau bisa sampai tahu seluk-beluk adat Batak kayak apa. Puji Tuhan, sampai saat ini walaupun dari oek-oek tinggal, sekolah dan bahkan sahabat ku sendiri pun non Batak, semuanya Chinese, aku masih bisa bahasa Batak meski masih marpasir-pasir. Hehehe. Tau tutur dan pesta-pesta adat semacamnya. Sekarang lagi belajar nulis dalam aksara Batak sama bapak :)
BalasHapuskebingungan yg sama yg gue rasakan...
BalasHapuskadang merasa agak getir membayangkan kalau-kalau estafet peradatan ini berhenti di gue dan gak terteruskan ke generasi selanjutnya....
@Golda Regina: Wah, hebat =D
BalasHapus@Remon: Nggak musti brenti juga, Mon, dicari gimana nerusinnya supaya pas...
waduh salamatahari ternyata amuba ya.. saya menggunakan diksi yg berbeda antara pulang & rumah yaitu kampung. buat saya kemarin pulang kampung bukan hanya sekedar perjalanan wisata melihat lansekap yg indah-indah dari tanah batak, tapi sebuah perjalanan spritual yg tidak bisa dijelaskan melalui huruf alfabet, terlebih ketika berdiri di depan tugu dan kubur batu opung nenek moyang serta jabu yg sudah berumur ratusan tahun. hiperbola sih, tapi begitu makan dan menari tor-tor di tengah saudara di kampung kita, perasaan magis itu akan muncul dan sangat berbeda ketimbang beracara di kota metropolitan ibukota :D
BalasHapusDear Sundea Belaka, membaca obituari ini, antara konsentrasi pada tulisan dengan memerhatikan gambar karakter2 lucu warna-warni di kiri-kanan laman blogmu. Dan ada seorang kerabatmu yang sibuk garuk-garuk punggung di dekat peti jenazah. Aku rasa ompungmu bijak. Salah satu keberhasilan dia adalah menyatu-padukan anak cucunya, bahkan pada hari kepergiannya. Tentang "pulang", dan "adat", itu hal yang kita geluti selama kita hidup, bukan? Turut berduka cita. Tolong sampaikan pula salamku ke papa-mamamu...
BalasHapus*Jadi makin penasaran baca novelnya Dea, dengan baca tulisan ini... :D
BalasHapus@Bona Tua: Mungkin suatu waktu Dea musti main juga ke ya ke Sumatera buat tau persis gimana rasanya =)
BalasHapusKalo saat ini buat Dea "pulang" itu artinya ke Bandung, ke tengah semua yang ada di sini, nulis, angkot, jalan yang nggak karu-karuan ... sejujurnya Dea justru ngerasa punya ikatan sama itu semua.
@Mas Heru: Salam kembali dari mama sama papa =) Iya, seumur-umur kayaknya "pulang" dan "adat" itu nggak selesai belajar dieja ya, maknanya harus di-refresh terus...
@Inang Uda Synka: Ayo, ayo hihi ... =D Makasih, ya ...
Kadang malu juga bawa-bawa marga Batak di belakang nama, sambil nggak tau banyak soal kebatakan kita. Bapak yang asli Batak (Mandailing) dari dulu nggak terlalu antusias mengajarkan soal budaya atau bahasa Batak. Belum pernah pula seumur hidupnya mengajak anak-anaknya bertandang ke kampung halamannya. Jadi, ketika beliau meninggal, otomatis legacy-nya "cuma" marga yang selalu saya lekatkan di belakang nama saya.
BalasHapus