Sabtu, 18 Agustus 2012

Kisah Pesuruh dan Penyuruh, Pesiar dan Penyiar

“Pesuruh” dan “penyuruh” kerap hadir bersama dalam suatu konteks. Biasanya “penyuruh” berdiri sebagai subyek dan “pesuruh” menjadi obyek yang dikenai tindakan. Awalnya, saya tak merasa ada yang aneh di antara keduanya. Hingga pada suatu hari, dalam sebuah teks, saya menangkap mereka bercakap-cakap.

“Ada hubungan yang aneh di antara kita berdua, Pesuruh,” kata Penyuruh.

“Jangan bilang Tuan jatuh cinta sama saya,” sahut Pesuruh.

Ngawur! Bukan itu. Seharusnya nama kamu bukan ‘Pesuruh’ tapi ‘Tersuruh’. Arti ‘Pesuruh’ kan sama saja dengan ‘Penyuruh’,” jelas Penyuruh.

 

 

Saya terkesiap. Iya juga, ya. Mereka berdua sama-sama berangkat dari kata dasar “suruh” yang diberi awalan pe-. Beberapa kata kerja yang diberi awalan pe- akan menjelma kata benda. Pada kata “tulis” dan “tabuh”, misalnya, “t” luluh menjadi “n” hingga terbentuklah kata benda “penulis” dan “penabuh”. Sementara pada kata “siar” dan “suruh”, “s” luluh menjadi “ny” hingga terbentuklah kata benda “penyiar” dan “penyuruh”.

Lalu bagaimana jika “s” dalam “pesiar” dan “pesuruh” tetap beku dan tak mau dileburkan oleh awalan pe- dan konteks yang disandangnya?

Pada kata “pesiar”, “pe” dan “siar” membuat kesepakatan sendiri. “Pesiar” meninggalkan makna “penyiar” yang kita kenal, lalu memilih makna berlibur naik kapal di lautan. Kendati begitu, “penyiar” dan “pesiar” masih terikat tali persaudaraan karena dalam konteks ini, mereka berangkat dari kata “syiar”.

“Syiar” yang berleluhur kata bahasa Arab “syuur” sebetulnya mengandung makna rambu-rambu (tanda ibadah). Pada perkembangannya, ada kerinduan untuk memperkenalkan tanda-tanda ibadah ini secara lebih luas. Lalu bertualanglah para pemuka agama untuk menyebarkan makna tanda-tanda ibadah tersebut ke segala penjuru dunia. Sejarah pun membuat “syiar” seringkali lebih dipahami sebagai penyebaran agama.

Di Indonesia, “syiar” menjelma lagi menjadi kata “siar” yang berarti …. (membuka-buka kamus Bahasa Indonesia) … lho … kok daun? Kenapa artinya jadi daun? Jadi “siaran” artinya …. “daunan” …?

Baiklah. Begini saja. Jika ditarik dari kata “syiar” tadi, menurut analisis saya yang suka-suka, “siar” dalam “penyiar” dan “pesiar” sama-sama menunjukkan “upaya memperluas”. Sementara ini, kita lupakan dulu pengertian dedaunan tadi untuk (kalau ada sumur di ladang) kita bahas saja dalam tulisan lain.

Sekarang kita kembali kepada kata “penyuruh” dan “pesuruh”.

Di dalam kamus Bahasa Indonesia, “suruh” adalah kata kerja yang berarti “perintah atau larangan untuk melakukan sesuatu”. Seperti yang sudah saya sebutkan sebelumnya, awalan pe- membuatnya menjadi kata benda. Pe- + suruh dengan “s” yang sudah luluh menjelma menjadi “penyuruh”. Sebagaimana lazimnya, “penyuruh” mengandung pengertian “orang yang melakukan tindakan memberi perintah atau larangan”. Lalu bagaimana dengan “pesuruh” ? Secara aturan tata bahasa, saya merasa kata ini ganjil dan rancu.

“Tuan, siapa tahu posisi kita sama saja. Seharusnya kapan-kapan saya bisa menyuruh-nyuruh Tuan juga,” kata Pesuruh yang tiba-tiba merasa harkat martabatnya terangkat.

“Heh! Enak saja!” Penyuruh takut posisinya tergeser.

“Atau, kita tidak usah cari-cari obyek. Yaaa … kita menyuruh-nyuruh saja bersama-sama.”

“Bertahun-tahun jadi pesuruh membuat kamu agak dong-dong, ya. Mana bisa? Penyuruh tak ada gunanya tanpa pesur …”

“Hayo siapa yang menyuruh siapa yang disuruh?” potong pesuruh cepat.

“Ya tetap kamu yang disuruh. Aku menyuruh!”

“Kenapa …?”

 

 

Penyuruh dan Pesuruh terus berdebat hingga berhari-hari berikutnya. Saya menangkap pembicaraan mereka tanpa berusaha menengahi. Hal yang saya lakukan justru melemparkan kembali hasil tangkapan saya kepadamu.

Bahasa Indonesia memang ajaib. Kadang tidak konsisten dan tidak konsekuen, tetapi selalu tahu bagaimana berlalu lintas dengan standar keamanannya sendiri. Tanpa rambu-rambu.

Teman-teman, mungkin “pesuruh” tak tahu bahwa diam-diam saudara tirinya yang bernama “perusuh” sekarang ini tengah mengintip …

*ilustrasi musik thriller*

2 komentar:

  1. Hai hai... Mau komentar yah.

    "Bahasa Indonesia memang ajaib. Kadang tidak konsisten dan tidak konsekuen, tetapi selalu tahu bagaimana berlalu lintas dengan standar keamanannya sendiri. Tanpa rambu-rambu."

    Menurut saya, Bahasa Indonesia itu memang ajaib. Tapi keajaibannya justru terletak pada kekonsistenannya. Pada contoh kasus pesuruh vs penyuruh, penggunaan keduanya sudah tepat. Awalan pe- menandakan kata benda (orang) sedangkan awalan ter- (misal: tersuruh) menandakan kata kerja pasif.


    'Pesuruh' berarti orang yang disuruh, sedangkan 'penyuruh' berarti orang yang menyuruh.

    Untuk memastikan suatu kata itu baku atau tidak, salah satu rambu utama yang digunakan adalah imbuhan.

    Contoh berikutnya adalah pesiar vs penyiar.
    Meski kata dasar keduanya sama-sama 'siar', ada perbedaan makna. Pada kata 'pesiar', siar bermakna 'berjalan-jalan', sedangkan pada kata 'penyiar', makna siar adalah 'mengabarkan'.

    Jika kedua kata tersebut dijadikan kata kerja berimbuhan, yang satu menjadi 'bersiar', yang satu lagi menjadi 'menyiarkan'. Imbuhan berperan penting dalam menelusuri baik struktur maupun pengertian suatu kata.

    Semoga membantu tanpa terkesan menggurui. Ini merupakan topik menarik.

    BalasHapus
  2. Hahaha ... thanks lho, Ther =)

    BalasHapus