Waktu pertama kali main keluar berdua, Ikan Paus dan Dea main ke Lembang. Pas ngeliat di sana banyak kelinci, Dea jadi kepengen ngedongeng.
“Ikan Paus, kamu mau didongengin nggak?”
“Dongeng apa?”
“Dongeng kelinci. Jadi, sebetulnya kelinci dikasih nama begitu karena mereka semua nempuh perjalanan menuju linci. Ke Linci.”
“Hahahaha … terus?”
“Sebelum sampe ke Linci, kuping mereka pendek. Seiring dengan perjalanan, kuping mereka tambah panjang tambah panjang daaaaaannnn tambah panjang. Kelinci-kelinci yang kita tau adalah kelinci-kelinci yang udah sampe ke Linci.”
“Sebelum berangkat ke Linci, mereka namanya apa?"
“Hmmm … nggak tau, ya … mungkin dulunya mereka marmut …”
Cerita absurd nggak penting tersebut berakhir sampe di situ. Dea nggak pernah tau di mana Linci dan kayak apa kelinci waktu kupingnya masih pendek. Tau-tau pas ke supermarket Dea nemu tong sampah ini:
Kebetulan banget. Di mobil Ikan Paus belum ada tempat sampah. Terus bisa-bisanya tokoh fiktif apaan tau karangan Dea mewujud dalam bentuk produk. Langsung aja Dea beli. Pas Ikan Paus dateng ngejemput di toko roti Flamboyan, dengan semangat tempat sampahnya Dea tunjukin. Ikan Paus ketawa-ketawa amazed.
Kebiasaan Ikan Paus – sadar nggak sadar - adalah ngerespon musik yang dia denger dengan apapun yang dia pegang. Nah. Sore itu Flamboyan nyetel acara lagu-lagu di tivinya. Ikan Paus ngerespon lagu-lagu itu pake tong sampah yang baru Dea kasih.
“Eh … ternyata ini bisa jadi alat musik! Perkusi bernada. Nadanya juga bisa lumayan banyak,” kata Ikan Paus.
“Hahaha … iyaaa … ayo kita rekam ….”
Selanjutnya, gantian Dea yang ketawa-ketawa amazed ngeliat “draft” alat musik aneh temuan Ikan Paus itu. Dia bikin beberapa eksperimen dengan bunyi, terus ngebahas kira-kira alat itu perlu dimodif gimana lagi supaya lebih sempurna. Ikan Paus ngomong beberapa hal teknis yang berhubungan sama fisika. Dia pintar sekali. Meskipun rada-rada nggak ngerti, Dea seneng ngedengerinnya. Yang Dea paham, energi dari passion dia rasanya anget seperti matahari jam sembilan pagi.
Di tong sampah kelinci yang kupingnya masih pendek itu, ada tulisan “What Makes You so Happy”. Dongeng Kelinci dan sekuel-sekuel yang ngikutinnya kan bikin seneng. Idup itu magical. Dan semenjak main sama Dea, Ikan Paus bilang, dia yang biasanya teknis dan logis mulai meratiin hal-hal yang magical juga di sekitarnya wehehehe …
Nah. Yang jadi pertanyaan penutup di posting ini … sebetulnya di manakah Linci? Dan sebelum berangkat ke Linci, dari mana binatang berkuping pendek itu bertolak?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar