Kamis, 22 Oktober 2015

Gelembung Sabun






Katanya, pada suku tertentu, anak-anak diberi nama berdasarkan benda pertama yang dilihat sang ibu, sesaat setelah sang anak lahir.  Kursi. Meja. Bantal. Kusen. 

Saya tidak lahir dan dibesarkan di tengah suku itu. Tapi entah mengapa, ibu memilih menamai saya berdasarkan benda pertama yang dilihatnya sesaat setelah kelahiran saya. Gelembung Sabun. Kok bisa-bisanya ibu melihat gelembung sabun setelah kelahiran saya? Sudahlah, terlalu aneh untuk diceritakan. Tidak usah, ya?

Nama Gelembung Sabun bukan bagian terburuk. Panggilan sayalah yang paling parah. Embung (yang dalam bahasa Sunda kasar artinya "tidak mau"). Akibat nama itu, sepanjang waktu saya menjadi bulan-bulanan. Sejak kecil saya sudah mengalami kerasnya hidup sebagai kaum terhina dan tercerca. 

Bukan satu-dua kali saya bertanya kepada ibu, kenapa tega-teganya ia menamai saya "Gelembung Sabun" dan memanggil saya "Embung". Tapi jawaban ibu selalu sama.

"Gelembung Sabun itu cantik sekali, Embung. Ibu ingin anak ibu secantik gelembung sabun."
"Tapi, Bu, kan banyak hal cantik lain selain gelembung sabun. Kenapa harus itu yang jadi namaku?"
"Karena itu benda pertama yang ibu lihat di saat kamu lahir," kata ibu sambil menatap saya, seakan-akan peristiwa itu mengharukan. 

Selama bertahun-tahun, saya menyandang nama apaan deh itu, sambil berusaha mencari informasi untuk berganti nama secara resmi. Sampai pada suatu hari, saya tahu mengapa sebetulnya ibu menamai Gelembung Sabun dan memanggil saya Embung.

Kamu tahu kisah "Little Mermaid" yang ditulis Hans Christian Andresen? Kisah itu sesungguhnya nyata. Tersebutlah puteri duyung cantik yang jatuh cinta pada seorang pangeran. Singkat cerita, setelah berbagai kekusutan yang terjadi, di akhir kisah puteri duyung dititah untuk membunuh sang pangeran. Ketika melihat sang pangeran, puteri duyung itu lantas "embung" membunuh pujaan hatinya. Ia memilih membunuh dirinya sendiri, dan menjelma menjadi gelembung-gelembung yang terbang memintas samudera dibawa angin dan nasib. 

Saya adalah gelembung yang terbawa sampai ke pantai Pangandaran. Perempuan yang saat ini saya sebut ibu adalah pedagang ikan asin di pinggir pantai. Ketika melihat saya, ibu terpesona. Ia yang sudah bosan memandangi ikan asin, memperhatikan ke mana saya terbang. Tiba-tiba saya pecah di udara dan menjelma menjadi bayi perempuan, terbang seringan bulu ke gendongan ibu. 

Lalu kenapa harus gelembung sabun? Saya kan gelembung saja. Dan dari mana juga saya tahu asal usul saya yang sesungguhnya ini? 

Sudahlah, terlalu aneh untuk diceritakan. Tidak usah, ya? Saya sudah lelah ... 


=====

Tulisan ini ditulis spontan di Bandung's Couchsurfing Writer Circle. 

Pada suatu hari, entah gimana ceritanya, pada waktu yang bersamaan pemain-pemain lama Reading Lights Writer Circle ngebaca posting Andika Budiman. Di situ ada informasi ttg #couchsurfingwriter dan pertemuan mrk yg berikutnya. Pas bgt para pemain lama ini -- termasuk Dea -- lagi kangen-kangennya ngumpul nulis lagi. Bisa-bisanya juga Mbak Riri yg berdomisili di Jkt emang lagi meeting di Bandung hari itu.
.
Jadi kami dateng ke gathering nulis ini. Ternyata, Couch Surfing Writer ini pun merupakan sambungan dari gathering yg sebelumnya udah ada di Jakarta. Anggotanya udah lumayan banyak. Ditambah bedol desa warga RLWC, kelompok nulis ini jadi luas adanya.
.
Hari itu tema nulisnya "Gelembung Sabun". Ide dan gaya bertuturnya macem-macem. Ada Artha yang bikin tulisan pendek banget karena gelembung sabun dia liat sebagai sesuatu yang pendek umurnya, ada juga Alin yang bikin cerita tentang memori yang disedot dan ujungnya jadi gelembung sabun.
.
Andika bilang dia ngerasa ada bonding di antara sesama temen yang seneng nulis. Dea setuju. Dan lebih daripada sekadar chemistry yang ngiket waktu kami ketemu di satu ruangan, bonding itu seperti tali nggak keliatan yang ngehubungin kami ketika kami berjauh-jauhan, punya kegiatan sendiri-sendiri, bahkan belum saling kenal.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar