Jumat, 15 April 2016

Tiba-tiba

Tiba-tiba Puan sudah dewasa. Padahal dua minggu yang lalu ia masih anak-anak. Ketika saya bertanya kepada Neneng, tetangga keluarga Puan, Neneng menjawab dengan ekspresi segosip-gosipnya.

"Iya, dia kan diperem. Orangtuanya pengen dia cepat besar supaya bisa dinikahkan. Makanya dua minggu yang lalu, mereka membenamkan Puan ke dalam tumpukan beras..."
"Wih, kayak mangga, ya," potong saya.
"Ya gitu deh. Makanya sekarang Puan tiba-tiba sudah besar, matang, dan menjadi PEREM-PUAN," lanjut Neneng. 
Saya mengangguk-angguk paham.

Lalu tibalah saatnya Puan dilamar. Pelamarnya tidak kaya. Tidak kaya di sini maksudnya... dia tidak kaya siapa-siapa. Sangat orisinil. Kepalanya kebiru-biruan. Rambutnya hijau agak pitak-pitak. Ia tidak punya telinga, tapi bisa mendengar. Ia tidak punya mulut, tetapi matanya yang cemerlang seperti batu mulia membuatnya selalu tampak tersenyum. Ia datang menggelinding-gelinding ke rumah Puan. Coba kamu bayangkan. Tidak kaya siapa-siapa kan?




Puan langsung jatuh hati. Dia mau sekali menjadi istri makhluk yang tidak kaya itu. Tapi orangtua Puan tampak kurang sreg. Mereka ingin Puan yang sudah susah-susah mereka perem mendapatkan pasangan yang terbaik. Apakah makhluk tidak jelas dan tidak kaya itu dapat memenuhi harapan kedua orangtua Puan? Sulit diprediksi.  
Ketika makhluk tidak kaya sekaligus agak tidak jelas itu datang melamar Puan, saya menonton. Makhluk itu menghadap ayah Puan dengan kesungguhan yang penuh, sementara ayah Puan duduk menyelidik sambil memilin-milin kumis.

"Apa mas kawin yang bisa kamu berikan untuk menikahi Puan?" tanya ayah Puan dengan suara berat.
"Bumi!" jawab makhluk kaya itu mantap.
Kedua orangtua Puan terkesiap mendengar jawaban penuh wibawa itu. Puan senang. Ia bertepuk-tepuk tangan dengan nafas tertahan dan senyum gembira. Ia yakin akan diizinkan menikahi makhluk tidak kaya itu.
"Bumi sekarat," lanjut makhluk itu masih mantap.

Tiba-tiba ayah Puan bangkit berdiri. Sambil menggebrak meja, suaranya yang menggelegar membelah seisi ruangan:
"APA?!! HANYA SATU KARAT?!! KAMU PIKIR ANAK SAYA APA?!! MENGHINA KAMU! BERAPA BELAS KARAT, KEK MINIMAL! PERGI!!!"
"Ayah, jangan!" cegah Puan. Tetapi ibu menahan lengan Puan. 
Puan menangis-nangis dramatis ketika makhluk tidak kaya itu berbalik badan. Melangkah meninggalkan rumah Puan. Saya sendiri masih menonton dan tak bisa berbuat apa-apa.

Saya tahu makhluk tidak kaya itu tak mungkin dapat memberi lebih daripada dirinya yang sekarat. Itu adalah seluruh dirinya yang tersisa. Seluruh dirinya.


Nah, Adik-adik, tidak ada moral cerita. Tetapi ada pertanyaan yang boleh dijadikan soal latihan di rumah. 

"Siapakah saya?"

Jika adik-adik tidak bisa menebak, kunci jawabannya ada pada Neneng, tetangga Puan. Dia adalah sumber daya gosip yang mengagumkan. Tak ada dinding rumah, atap, dan koneksi internet buruk yang dapat menahan informasi sampai kepadanya.



Ini tulisan Dea untuk Couch Surfing Writers Club edisi 14 April 2016, asuhan Kean. Karena udah deket-deket hari Kartini, hari itu tiap kami disuruh nyumbang tema yang berhubungan sama "Kartini" dan "Bumi". Nanti temanya dituker-tuker secara random.

Dea dapet tema "Perempuan" dan "Bumi Sekarat". Tulisan di posting ini adalah hasil ngecapruk 45 menit. Pas mulai nulis, Dea nggak pernah tau cerita itu bakal berujung di mana, makanya Dea judulin "Tiba-tiba".


1 komentar:

  1. wow keren banget kak.. ooo iya kak kalau ingin tahu tentang cara membuat website yukk disini saja.. terimakasih

    BalasHapus