Day #12: Doa-doa Pendek di Jarak Pendek

Kemarin, waktu ujan jatuh derasssssssssss … seperti air bah, Dea ada di tengah jalan. Karena angkot Margahayu-Ledeng agak jarang yang lewat, terpaksa Dea naik angkot yang udah penuh dan duduk di kursi artis dengan kaki nongol keluar. Ujan ngeguyur kaki Dea. Tapi karena itu, Dea jadi punya permainan. Pada waktu tempuh yang singkat sekali, Dea ngegumamin beberapa doa pendek:

“Ujan jatuh di rok Dea yang bunga-bunga. Semoga bunganya tumbuh dan Dea jadi taman …”

“Ujan jatuh bersama daun gugur. Semoga ujan belajar dari daun, tumbuh jadi pohon berdaun awan...”

“Ujan jatuh di jendela mobil. Semoga ketika dia mengembun, mobil ngerasa seperti pagi-pagi …”

“Ujan jatuh di kepala angkot ijo yang gundul. Semoga ijo itu menjelma rumput….”

“Ujan jatuh di atas genteng merah. Semoga genteng inget rasanya menjadi tanah …”

“Ujan jatuh di sekitar tukang bakso. Semoga asap kuah bakso tumbuh jadi anget yang merambat dan menjalar …”

“Ujan jatuh di atas payung biru. Semoga payung itu jadi luas hati seperti lautan …”

“Ujan jatuh di atas … eh … udah mau nyampe …”

“Kiri, Pak ….,” Dea turun. Berpayungan dan kedinginan, Dea jalan ke tempat tujuan. Ujan jatuh di mana-mana. Mereka ditangkep mata Dea, tapi mata Dea nggak bisa mencegah jatuhnya.

Besok paginya Dea bangun jam tujuh. Langit cerah sekali. Matahari bersinar seperti ujan nggak akan pernah jatuh lagi selamanya. Ada lanjutan doa yang ngebisikin dirinya sendiri ke telinga Dea,

“Kemarin ujan jatuh, matahari, semoga hari ini kamu bisa ngebantu mereka berdiri …”

Dea ngeliat ke luar jendela. Burung berkicau. Air di dalem kubangan berkilau; siap-siap dihisap matahari, dan jadi bintang malemnya …