“Ini Ibu Budi, Budi ibu saya.
Kalau tidak Budi, bukan Ibu saya …”
“Kikan, lagunya bukan begitu, tapi begini, ‘Topi saya bundar, bundar topi saya …’”“Tapi Kikan nggak punya topi bundar, Ma,” potong Kikan cepat. “Ibu Kikan namanya juga bukan Ibu Budi,” tanggap saya sambil menahan senyum. “Tapi lagunya kan memang begitu, ‘Ini Ibu Budi, Budi ibu sayaaa …’” Gadis kecil saya lalu berlari-lari ke luar rumah. Suaranya yang cempreng membelah udara. Saya hanya bisa menahan senyum dan membiarkan dia menyerukan lagunya sesuka hati.
Tapi kemudian lagu itu jadi melekat di kepala saya. Kikan menyanyikannya berpuluh-puluh kali setiap hari. Lama-lama tanpa sengaja saya pun jadi sering bersenandung, “Ini Ibu Budi, Budi ibu saya …!” Aduh! Lagu itu itu mengejar-ngejar saya ke mapun. Terngiang-ngiang di tengah segala kegiatan saya. Ada apa dengan Budi? Atau jangan-jangan Budi memang ibu saya? Atau ibunya Kikan ? Saya, dong … lho?
Lalu pada suatu siang, sambil menunggu Kikan pulang sekolah, saya mencoba mengajak lagu ini berdialog:
Saya: Budi, apakah kamu memang ibu saya?
Lagu (dengan nada Topi Saya Bundar):
“Ingat-ingat terus masa sekolahmu.
Kalau tidak ingat, ingat-ingat terus …”
Saya pun mundur puluhan tahun. Samar saya teringat pada penggaris kayu yang memukul jari berkuku jorok. Pelajaran PMP dan segala butir mutiara Pancasilanya. Upacara bendera yang membuat saya kadang nyaris pingsan. Momok angka-angka dalam pelajaran matematika. Budi, Wati, dan Iwan yang rajin belajar dan senantiasa membantu orangtua. Belajar sebelum ulangan dan membuat PR dengan tulisan yang bersih dan rapi. Tidak boleh mengobrol di dalam kelas …
Sementara saya? Kuku saya hampir selalu kotor karena saya bermain di mana saja. Saya tidak pernah berhasil menghafal butir mutiara Pancasila. Saya sering dihukum karena jongkok-jongkok di tengah upacara bendera. Nilai matematika saya tidak pernah bagus. Entah mengapa saya tidak suka pada Budi, Iwan, dan Wati. Saya malas belajar sebelum ulangan dan tulisan tangan saya sangat jelek. Saya mendongeng dan bersulap di dalam kelas sampai diusir keluar. Kemudian saya tidak naik kelas. Saya tidak naik kelas karena durhaka; menyangkal ibu Budi sebagai ibu saya.
“Mamaaaa …!!!” tiba-tiba Kikan yang berlari-lari membuyarkan lamunan saya, “Kikan mau nyanyi,” katanya. “Mama duluan. Mama juga punya lagu,” tukas saya. Kemudian bernyanyilah saya,
“Ini ibu Budi, bukan ibu saya
Kalau ibu Budi, bukan ibu saya …”
Kikan bengong. “Bagus, nggak, lagu mama?” tanya saya sambil senyum-senyum. “Kok mama lagunya gitu? Kikan bukan mau nyanyi lagu itu. Kikan mau nyanyi lagunya Armada, ‘Mau dibawa ke mana hubungan kitaaaa …’” sambil bergaya-gaya Kikan menyanyikan lagu pop yang sedang populer sekarang ini. Gantian saya yang bengong.
Tahu-tahu di kepala saya terbit sebuah lagu lain. Samar tapi menggangu,
“Mau dibawa ke mana Bu Budi kitaaa …”
Gw baru tau salamatahari blogspot msh ada dan dipake #30 hari menulis. Gw pengen ikutan ah. Dan Kikan ternyata anak lo? Sumpah, gw baru tau.
BalasHapusNah, gw juga baru tau kalo gw salah baca. Salamatahati ya, bukan salamatahari. :P
BalasHapusHahaha ... yo'i ... serupa tapi seruput ... =D
BalasHapus-Sundea-