Senin, 04 Oktober 2010

Day #29: Dedo (sekuel)

"Kulihat awan, seputih kanvas
arak-berarak di langit luas..."

Itu bukan salah ketik. Iya. Seputih kanvas, bukan kapas. Pada suatu hari, ketika sedang menggambar di kolong meja, Dedo mengintip awan-awan dari balik jendela. Sejak saat itu dia menggantungkan cita-citanya setinggi langit dan meninggalkan kolong meja, berjanji untuk menggambar di kanvas yang arak-berarak di langit luas itu.

Tubuhnya menjulang tinggi, berorientasi ke angkasa. Tetapi 185 cm sudah terlalu tinggi. Daripada repot-repot membuatnya lebih tinggi berkilo-kilo meter lagi, Tuhan memutuskan untuk memberinya sayap saja.

"Andai kudapat ke sana terbang
akan kuraih kubawa pulang ..."

... tetapi bukan Dedo yang membawa pulang kanvas, sebaliknya, kanvaslah yang membawanya pulang. "Ini rumahmu. Melukislah sepuasnya," kata Tuhan. Sejak beberapa hari yang lalu, Dedo melukis di atas kanvas awan-awan. Cat airnya menetes-netes sampai ke bumi, memberi warna di pemakamannya sendiri. Ada nyanyian, ada air mata, ada anak-anak penyewa payung yang tak lagi memandang pemakaman sebagai tempat yang duka, ada banjir bandang yang merendam kaki, ada telapak-telapak yang kembali belajar mengindera lumpur, ada apa saja. Dalam bahasa Batak "Radedo" berarti "tersedialah". Maka tersedialah cat air seribu warna untuknya ...

Ketika akhirnya Dedo lelah dan lelap dalam dekap-Nya, Ia memberi aksen pada lukisan Dedo. Warna-warni klasik yang tak pernah kehilangan pesona pun merona,

"Pelangi, pelangi alangkah indahmu ....
pelukismu agung, siapa gerangan ...?"



2 komentar: