Setelah ngedenger album terbaru Deugalih and Folks, secara intuitif ada sesuatu yang Dea tangkep di album itu. Dea ngerasa ngerti, tapi susah ngejelasin dengan gamblang. Akhirnya semua intuisi Dea, Dea coba "jelasin" lewat review ini.
Tapi setelah dateng ke konser "Anak Sungai" kemaren, pemahaman yang centang perenang itu jadi terjelaskan. Galih seperti pake baju yang udah "kesempitan" ketika ngebawain materi-materi yang rencana rilis tiga taun yang lalu itu. Dia bertumbuh, tapi lagu-lagu yang dia bawain nggak ikut bertumbuh bersama dia. Lagu-lagu Galih yang lalu adalah jejak sejarahnya, tapi bukan "saat ini"-nya. Sementara sejauh yang Dea tau, seluruh keidupan Galih dan gimana dia berkesenian nggak pernah bisa dipisah.
Sekitar 13 taunan yang lalu -- terutama waktu awal-awal kuliah -- Galih adalah mahasiswa yang badung dan sering cari gara-gara. Mulai dari dosen sampe temen-temen kuliah, semua pusing ngadepin dia. Cuma di sisi lain, karena dia orangnya sincere, kita semua juga bisa bertemen cukup akrab sama dia (sisa-sisa relasi uniknya sama kampus bisa diliat dari keakraban Galih sama dosen kami Pak Ono, pemain thin whistle Deugalih and Folks hehe ...).
Tapi di masa itu, sebagai manusia Galih sedang kompleks-kompleksnya. Emosinya naik-turun nggak menentu. Di satu masa dia bisa keliatan riang setengah mati, tiba-tiba diem aja di kantin terus ngegebrak meja entah karena apa, dan sering ngeluh ngedenger suara-suara yang ngeganggu (waktu itu cuma Yadi Si Santai -- pemain gitar Deugalih and Folks -- yang tahan konsisten banget nemenin Galih).
Pada era-era itu, Galih nge-grunge banget. Rata-rata lagunya frustrasi. Ada yang tentang bunuh diri, schizoprenia, perasaan teralienasi, bahkan di musikalisasi puisi "Buat Gadis Rasjid" Galih nyisipin sebaris jerit-jerit grunge-nya. Cara nyanyi Galih nggak jauh beda sama pembawaannya sehari-hari. Meledak-ledak, frustrasi, dan masa-masa itu berakhir setelah Galih akhirnya drop out dari kampus.
Setelah drop out, Galih mulai memasuki fase lain dalam berkaryanya. Lucunya, bukannya tambah frustrasi, Dea liat Galih malah jadi lebih tenang. Dia nggak semeledak-ledak sebelumnya. Mulai jarang juga cerita tentang suara-suara aneh yang tadinya suka tiba-tiba dia denger. Lebih ikhlas ngelepas apapun yang diambil dari idupnya. Padahal sebenernya di masa itu idup dia justru semakin nggak jelas. Dia masih tinggal di Jatinangor, nggak punya kosan, dan nggak punya kerjaan yang bener-bener pasti.
Sebenernya di era itu Galih jadi nggak punya power lagi ketika nge-grunge, nggak bisa connect lagi ketika nyanyiin lagu-lagunya yang frustrasi, nggak bisa galau-galau stress lagi kalau bikin lirik, tapi dia nggak maksain diri. Dia ngebiarin karya-karyanya ngebawa ke mana dia harus ngalir dan berkembang sesuai dengan perkembangannya sendiri. Lirik-lirik lagu Galih jadi lebih santai dan naratif banget. Galih suka ngamen dari warung makan yang satu ke warung makan yang lain di Jatinangor, dan banyak warung yang senang. Sebagai imbalan, warung-warung itu suka ngasih Galih makanan gratis. Dan kalau nggak salah sih di masa-masa ini jugalah lahir Deugalih and Folks.
Masa-masa Galih nge-folk lumayan panjang. Dan sekitar dua-tiga taun terakhir, Dea udah jarang banget ngobrol sama Galih karena kami punya kesibukan sendiri-sendiri. Apalagi Galih terus pindah ke Jakarta dan jadi guru di sana. Tapi beberapa minggu sebelum konser "Anak Sungai", Dea sempet ketemu Galih karena dateng ke workshop yang dia bawain. Di situ kami ngobrol rada banyak. Dan di situ juga Dea ngeliat kalau Galih tampak lagi dalam proses pindah fase lagi.
Galih cerita tentang murid-muridnya di sekolah, dan kekhawatiran dia ngeliat anak-anak di sana yang rentan banget karena nggak pernah "kalah". Galih ngerasa bertanggung jawab ngebantu mereka jadi generasi yang lebih baik. Dia juga cerita soal rencananya nikah, ngebangun masa depan sama pacarnya yang cantik dan sangat supportive, Yaya. Sekilas dia cerita juga tentang album "Anak Sungai"-nya yang mau rilis. Ritmenya mulai dipenuhi (!), (,), dan (?) bukan melulu (...) lagi.
Waktu dateng ke konser Anak Sungai, Dea ngerasa, bukan lagu-lagu di albumnya itu lagilah yang jadi kegelisahan Galih saat ini. Makanya ekspresi dia ketika bercerita jadi agak nggak pas. Kondisinya mirip bertaun-taun yang lalu, ketika dia masih dikenal sebagai musisi grunge, tapi jiwanya udah nge-folk. Di konser kemaren, Galih bukan lagi story teller yang tenang. Di setiap lagunya, dia seperti selalu kepengen tereak dan meledak. Dan kenggaknyamanannya ngebawain lagu-lagu itu transfer ke satu-dua penonton, termasuk Dea.
Menjelang akhir konser, Galih ngasih bonus. Deugalih and Folks ngebawain lagu yang nggak ada di album "Anak Sungai" tapi katanya mungkin bakal dirilis di album berikutnya. Judulnya Puraka. Dea rada lupa lagunya tentang apa, terutama karena liriknya bahasa sansekerta. Tapi di situ baru kerasa kalau ... ini dia Galih yang sekarang! Di situ Galih bebas berteriak, dan nyaman ngekspresiin kegelisahannya. Energinya pun bikin The Folks jadi lebih kuat dan solid. Tapi nggak seperti di era-era kuliah, kegelisahannya kali ini kerasa lebih mateng. Lebih spiritual. Dea belom bisa komentar banyak karena fase ini baru aja dimulai, kita masih nunggu perkembangannya.
Sepulang konser, Ikan Paus, Om Em, dan Dea ngebahas apa yang kami tonton. Dea juga cerita sedikit ke Ikan Paus tentang proses berkesenian Galih, supaya Ikan Paus yang baru aja kenal Galih punya gambaran. Kami sepakat, akan berat buat Galih kalau nge-repress energinya yang besar. Galih perlu nyeritain apa yang dia mau ceritain, karena itulah "wahyu" yang dititip ke dia sebagai seniman. Untuk album, sekadar saran, sih, mungkin bisa agak tricky. Rekamnya dicicil supaya nggak keilangan moment. Karena kalau sampe harus nunggu tiga taun, materinya bisa jadi udah keburu "kesempitan" dan Galih nggak pernah bisa berakting ketika bermusik.
"Dulu musisi itu tempatnya memang di panggung. Tapi setelah ada industri rekaman dan menguntungkan, orang-orang jadi lebih ngejer ke situ. Sekarang kayaknya sih musisi udah mulai kembali lagi ke panggung," kata Ikan Paus.
Dan dari dulu, Galih memang musisi panggung. Dia nggak pernah pilih kasih sama panggung manapun yang selalu dia pijak tanpa alas kaki. Mau itu panggung kampus, lantai dingin warung makan, karpet anget cafe, panggung acara hore-hore belaka, sampai panggungnya musisi beken internasional, Daniel Sahuleka.
Bermusik adalah cara Galih melihara idupnya. Ngejaga kewarasannya. Dan mencatat sejarah dirinya sendiri.
Mengutip kata-kata fisluf Heraclitus:
Jadi, pantai rei, Galih. Temuin cerita-cerita baru yang asyik di sepanjang perjalanan lu selanjutnya.
Selamat sekali lagi buat rilisnya album "Anak Sungai" dan konser kalian yang sukses banget kemaren ^^
Tapi setelah dateng ke konser "Anak Sungai" kemaren, pemahaman yang centang perenang itu jadi terjelaskan. Galih seperti pake baju yang udah "kesempitan" ketika ngebawain materi-materi yang rencana rilis tiga taun yang lalu itu. Dia bertumbuh, tapi lagu-lagu yang dia bawain nggak ikut bertumbuh bersama dia. Lagu-lagu Galih yang lalu adalah jejak sejarahnya, tapi bukan "saat ini"-nya. Sementara sejauh yang Dea tau, seluruh keidupan Galih dan gimana dia berkesenian nggak pernah bisa dipisah.
Sekitar 13 taunan yang lalu -- terutama waktu awal-awal kuliah -- Galih adalah mahasiswa yang badung dan sering cari gara-gara. Mulai dari dosen sampe temen-temen kuliah, semua pusing ngadepin dia. Cuma di sisi lain, karena dia orangnya sincere, kita semua juga bisa bertemen cukup akrab sama dia (sisa-sisa relasi uniknya sama kampus bisa diliat dari keakraban Galih sama dosen kami Pak Ono, pemain thin whistle Deugalih and Folks hehe ...).
Tapi di masa itu, sebagai manusia Galih sedang kompleks-kompleksnya. Emosinya naik-turun nggak menentu. Di satu masa dia bisa keliatan riang setengah mati, tiba-tiba diem aja di kantin terus ngegebrak meja entah karena apa, dan sering ngeluh ngedenger suara-suara yang ngeganggu (waktu itu cuma Yadi Si Santai -- pemain gitar Deugalih and Folks -- yang tahan konsisten banget nemenin Galih).
Pada era-era itu, Galih nge-grunge banget. Rata-rata lagunya frustrasi. Ada yang tentang bunuh diri, schizoprenia, perasaan teralienasi, bahkan di musikalisasi puisi "Buat Gadis Rasjid" Galih nyisipin sebaris jerit-jerit grunge-nya. Cara nyanyi Galih nggak jauh beda sama pembawaannya sehari-hari. Meledak-ledak, frustrasi, dan masa-masa itu berakhir setelah Galih akhirnya drop out dari kampus.
Setelah drop out, Galih mulai memasuki fase lain dalam berkaryanya. Lucunya, bukannya tambah frustrasi, Dea liat Galih malah jadi lebih tenang. Dia nggak semeledak-ledak sebelumnya. Mulai jarang juga cerita tentang suara-suara aneh yang tadinya suka tiba-tiba dia denger. Lebih ikhlas ngelepas apapun yang diambil dari idupnya. Padahal sebenernya di masa itu idup dia justru semakin nggak jelas. Dia masih tinggal di Jatinangor, nggak punya kosan, dan nggak punya kerjaan yang bener-bener pasti.
Sebenernya di era itu Galih jadi nggak punya power lagi ketika nge-grunge, nggak bisa connect lagi ketika nyanyiin lagu-lagunya yang frustrasi, nggak bisa galau-galau stress lagi kalau bikin lirik, tapi dia nggak maksain diri. Dia ngebiarin karya-karyanya ngebawa ke mana dia harus ngalir dan berkembang sesuai dengan perkembangannya sendiri. Lirik-lirik lagu Galih jadi lebih santai dan naratif banget. Galih suka ngamen dari warung makan yang satu ke warung makan yang lain di Jatinangor, dan banyak warung yang senang. Sebagai imbalan, warung-warung itu suka ngasih Galih makanan gratis. Dan kalau nggak salah sih di masa-masa ini jugalah lahir Deugalih and Folks.
Masa-masa Galih nge-folk lumayan panjang. Dan sekitar dua-tiga taun terakhir, Dea udah jarang banget ngobrol sama Galih karena kami punya kesibukan sendiri-sendiri. Apalagi Galih terus pindah ke Jakarta dan jadi guru di sana. Tapi beberapa minggu sebelum konser "Anak Sungai", Dea sempet ketemu Galih karena dateng ke workshop yang dia bawain. Di situ kami ngobrol rada banyak. Dan di situ juga Dea ngeliat kalau Galih tampak lagi dalam proses pindah fase lagi.
Galih cerita tentang murid-muridnya di sekolah, dan kekhawatiran dia ngeliat anak-anak di sana yang rentan banget karena nggak pernah "kalah". Galih ngerasa bertanggung jawab ngebantu mereka jadi generasi yang lebih baik. Dia juga cerita soal rencananya nikah, ngebangun masa depan sama pacarnya yang cantik dan sangat supportive, Yaya. Sekilas dia cerita juga tentang album "Anak Sungai"-nya yang mau rilis. Ritmenya mulai dipenuhi (!), (,), dan (?) bukan melulu (...) lagi.
Waktu dateng ke konser Anak Sungai, Dea ngerasa, bukan lagu-lagu di albumnya itu lagilah yang jadi kegelisahan Galih saat ini. Makanya ekspresi dia ketika bercerita jadi agak nggak pas. Kondisinya mirip bertaun-taun yang lalu, ketika dia masih dikenal sebagai musisi grunge, tapi jiwanya udah nge-folk. Di konser kemaren, Galih bukan lagi story teller yang tenang. Di setiap lagunya, dia seperti selalu kepengen tereak dan meledak. Dan kenggaknyamanannya ngebawain lagu-lagu itu transfer ke satu-dua penonton, termasuk Dea.
Menjelang akhir konser, Galih ngasih bonus. Deugalih and Folks ngebawain lagu yang nggak ada di album "Anak Sungai" tapi katanya mungkin bakal dirilis di album berikutnya. Judulnya Puraka. Dea rada lupa lagunya tentang apa, terutama karena liriknya bahasa sansekerta. Tapi di situ baru kerasa kalau ... ini dia Galih yang sekarang! Di situ Galih bebas berteriak, dan nyaman ngekspresiin kegelisahannya. Energinya pun bikin The Folks jadi lebih kuat dan solid. Tapi nggak seperti di era-era kuliah, kegelisahannya kali ini kerasa lebih mateng. Lebih spiritual. Dea belom bisa komentar banyak karena fase ini baru aja dimulai, kita masih nunggu perkembangannya.
Sepulang konser, Ikan Paus, Om Em, dan Dea ngebahas apa yang kami tonton. Dea juga cerita sedikit ke Ikan Paus tentang proses berkesenian Galih, supaya Ikan Paus yang baru aja kenal Galih punya gambaran. Kami sepakat, akan berat buat Galih kalau nge-repress energinya yang besar. Galih perlu nyeritain apa yang dia mau ceritain, karena itulah "wahyu" yang dititip ke dia sebagai seniman. Untuk album, sekadar saran, sih, mungkin bisa agak tricky. Rekamnya dicicil supaya nggak keilangan moment. Karena kalau sampe harus nunggu tiga taun, materinya bisa jadi udah keburu "kesempitan" dan Galih nggak pernah bisa berakting ketika bermusik.
"Dulu musisi itu tempatnya memang di panggung. Tapi setelah ada industri rekaman dan menguntungkan, orang-orang jadi lebih ngejer ke situ. Sekarang kayaknya sih musisi udah mulai kembali lagi ke panggung," kata Ikan Paus.
Dan dari dulu, Galih memang musisi panggung. Dia nggak pernah pilih kasih sama panggung manapun yang selalu dia pijak tanpa alas kaki. Mau itu panggung kampus, lantai dingin warung makan, karpet anget cafe, panggung acara hore-hore belaka, sampai panggungnya musisi beken internasional, Daniel Sahuleka.
Bermusik adalah cara Galih melihara idupnya. Ngejaga kewarasannya. Dan mencatat sejarah dirinya sendiri.
Mengutip kata-kata fisluf Heraclitus:
Into the same rivers we step and yet we do not step, we exist and at the same time we do not exist
In the end, there is only flux, everything gives way
Jadi, pantai rei, Galih. Temuin cerita-cerita baru yang asyik di sepanjang perjalanan lu selanjutnya.
Selamat sekali lagi buat rilisnya album "Anak Sungai" dan konser kalian yang sukses banget kemaren ^^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar