Ikan Paus dan Dea nggak kuat makan pedes. Jadi, kalau mau masak sesuatu yang butuh banyak cabe, Dea harus ngebuangin bijinya. Pada suatu hari pas terjadi pemberangusan biji cabe secara besar-besaran, tau-tau cabenya marah ke Dea.
"Heh! Apa-apaan sih kamu?!! Ngapain kamu ngebuangin biji-biji kami?!"
"Ng ... Ikan Paus dan Dea nggak kuat pedes..."
"Kalau nggak kuat pedes, ngapain kamu makan cabe segala?!"
"Karena cabe itu enak. Kalian wangi dan punya citarasa yang khas. Ikan Paus dan Dea suka sama kalian, cuma nggak kuat pedesnya aja..."
"Seenaknya! Itu artinya kamu dan Ikan Paus nggak nerima kami apa adanya! HUH!"
Ternyata kemarahan cabe berlanjut. Sampe Dea beres masak, biji-bijinya ninggalin panas dan perih yang ngebakar di tangan Dea. Dea nggak bisa ngelakuin apa-apa kecuali nunggu sampai perihnya ilang sendiri. Waktu Dea cerita ke Ikan Paus tentang kemarahan cabe, Ikan Paus ketawa. "Biji cabe emang nggak boleh kena tangan. Lain kali buangnya pake piso aja, ya," kata Ikan Paus sambil ngusap-usap kepala Dea.
Sekalipun Ikan Paus udah ngomong begitu, kemarahan cabe tetep bikin Dea kepikiran dan sedikit ngerasa bersalah. Apa betul Dea nggak nerima cabe apa adanya? Kalau gitu, apa lain kali Dea nggak boleh makan cabe lagi kecuali udah tahan sama pedesnya? Pertanyaan itu Dea simpen sendiri di dalem hati sambil kadang-kadang Dea tanyain ke Tuhan di dalem doa.
Pada suatu siang yang cerah, panas, tapi berangin -- waktu Dea mau masak telor balado tapi ragu-ragu -- tuhan di depan dapur tiba-tiba berbisik di telinga Dea.
Dea, kalau kamu makan melon atau duren, kulitnya nggak ikut kamu makan kan? Jeruk pun suka kamu ambil airnya aja. Nggak ada yang salah dengan masak cabe dibuang bijinya. Bikin sana telor baladonya...
"Tapi nanti cabenya marah lagi, tuhan..."
Aku bakal ada di antara kamu dan cabe. Jangan takut ...
Jadi siang itu tuhan ngebungkus tangan Dea. Dia yang tau cara berkomunikasi dengan cabe ngelindungin Dea dari perih dan panas. Sambil masak, pikiran Dea berkelana ke mana-mana.
Kalau kita pake term-nya cabe, mungkin sebenernya nggak ada hal yang bener-bener kita terima "apa adanya". Dewasa artinya bisa ngeliat segala sesuatu semakin lengkap, tapi juga menoleransi hal yang nggak selalu cocok sama kita. Dea percaya kita bisa berhubungan baik sama hampir semua hal, asal kita tau jarak dan caranya. Nah. Jarak dan cara itu bisa kita tetepin kalau kenal apa yang kita hadepin dan diri kita sendiri. Misalnya, Dea berterima kalau cabe itu pedes. Tapi Dea tau juga kalau Dea nggak kuat pedes. Dea nggak perlu nganggep cabe itu coklat supaya "enak" atau maksain diri kuat makan pedes sambil tersiksa. Pilihannya, kalau Dea masak, pake cabenya jangan banyak-banyak. Atau kalau pun harus banyak, buang bijinya. Seumpama suatu saat ada makanan yang pedes banget dan Dea milih nggak makan sama sekali, si cabe tetep bisa Dea liat tanpa penghakiman. Dea paham sifat cabe. Dan Dea rasa, itulah definisi yang lebih tepat untuk istilah "nerima apa adanya".
Akhirnya telor balado Dea mateng. Tetep wangi cabe, tapi nggak pedes.
Sementara di permukaan tuhan yang putih hampir bening, biji cabe melekat. Mungkin tuhan dan cabe ngobrol sesuatu. Tapi Dea nggak kepengen nanya-nanya. Cabe dan tuhan mungkin punya rahasia-rahasia sendiri.
Siang itu Dea ngerasa masak dan "masak". Nggak cuma telor balado Dea yang mateng, tapi juga kesadaran untuk lebih sayang sama idup.
Apa adanya :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar